Saya setuju ungkapan beberapa teman yang mencoba mengkritisi menyangkut peranggrekan Indonesia yang kurang berkembang dengan berbagai uangkapan keprihatinan. Ada yang menggambarkan bahwa kita masih bercokol kuat pada ‘romantisme’ membanggakan potensi anggrek Indonesia yang sangat besar, dan rasa berbangga itu tidak pernah bergeser dari waktu ke waktu, sementara potensi itu sudah sangat banyak dimanfaatkan negeri orang. Ada juga yang mengungkapkan peranggrekan Indonesia dalam gambaran seekor Hamster yang terjebak berjalan dalam kumparan yang berputar terus, mereka merasa sudah berjalan jauh tapi sebetulnya belum ke mana-mana.
Kesadaran untuk maju bukan berarti tidak ada, sering muncul, bahkan sering kemudian menjadikan semangat baru untuk mengurai benang kusut yang dirasakan, misalnya saja : reformasi organisasi peranggrekan, munculnya organisasi peranggrekan baru, penyelenggaraan kegiatan pameran dan bursa peranggrekan nasional, pelatihan dan seminar-seminar, lomba anggrek unggulan nasional, semua itu adalah contoh-contoh upaya yang tidak bisa kita kesampingkan. Namun sepertinya semua itu tidak mampu memberi gambaran yang dapat mengikis asumsi bahwa peranggrekan Indonesia masih jauh ketinggalan dari perkembangan peranggrekan internasional.
Ada yang mengungkapkan sulitnya mengatur orang-orang anggrek, susah diajak kompromi, banyak yang masih mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya, merasa pintar dan benar sendiri dan lain-lain. Bahkan jangan heran ada yang lupa etika menelanjangi seseorang yang seharusnya tidak perlu terjadi. Peranggrekan Indonesia menjadi sebuah komunitas yang tidak lagi familier, sejuk, berkemajuan, tetapi menjadi komunitas sering saling salah menyalahkan, cari menang sendiri dan kehilangan oreintasi mengembangkan kemampuan produktivitas. Tetapi sesungguhnya masih banyak yang tidak demikian, masih banyak yang berangkat dengan ketulusan dan semangat nasionalisme untuk memajukan peranggrekan Indonesia.
Potret diri atau evaluasi diri menyangkut peranggrekan Indonesia secara riil melalui suatu kajian yang benar kayaknya belum pernah kita ketahui. Hal tersebut penting untuk mengetahui kondisi pearanggrekan pada saat ini misalnya menyangkut : kebutuhan anggrek nasional, peluang ekspor, jumlah dan identifikasi produsen, petani, pedangan, teknologi yang teradopsi, kapasitas dan kualitas produk, pola pasar dan pemasaran, kebijakan pemerintah dan kelembagaan mitra dan lain-lain. Evaluasi diri sangat diperlukan untuk menjadi pijakan menentukan rencana pengembangan dan evaluasi pengembangan di kemudian hari.
Pernah insah anggrek membentuk Pokja Anggrek Nasional, yang sesungguhnya atau semestinya salah satunya kerjanya untuk evaluasi hal ini dan kemudian dilanjutkan kerja perumusan apa rencana tahapan yang harus dilakukan untuk memajukan peranggrekan Indonesia. Di pokja itu sudah duduk 3 pilar yang dibutuhkan, walau hemat penulis belum merepresentasikan sebuah pokja nasional, karena tidak mempertimbangkan keterwakilan dan kepakaran. Beberapa orang anggota pokja tersebut menceritakan hanya sekali bertemu dan setelah itu tidak ada kabar seperti ditelan tsunami.
Berbicara bagaimana mengembangkan peranggrekan Indonesia sesungguhnya seperti kita sedang berpolemik di sebuah gerbong yang terlepas dari rangkaian yang ada lokonya. Kita tidak tahu dan tidak sadar apa, bagaimana, kapan, siapa yang akan melakukan upaya pengembangan itu, kita masih dan selalu berdebat tanpa ada kesepakatan. Program riil kita apa ? Sementara loko dan rangkaian gerbong lainnya terus berjalan, artinya perkembangan peranggrekan dunia terus maju dan berkembang dengan masukan teknologi masa kini yang terus terbaharui yaitu bioteknologi. Mereka tidak pernah perduli pada peranggrekan kita, mungkin justru mereka lebih suka kita tidak berkembang karena Indonesia adalah pasar penting bagi produk anggrek mereka dan nyata-nyata hal itu telah kita rasakan.
Mengembangkan peranggrekan nasional tidak semerta-merta seperti kita membalikan telapak tangan kita. Hawai yang sangat popular dengan produk bunga potong dan tanaman pot untuk dendrobium, catleya, phalaenopsis dan lain-lain. Menurut Haruyuki Kamemoto (profesor di bidang anggrek dari University of Hawaii) sedikitnya memerlukan kajian selama 45 tahun, mereka kerjasama dan kerja keras antara peneliti, pemerintah dan pengusaha sehingga Hawaii mampu memproduksi tanaman bebas virus, menerapakan teknologi propagasi bunga potong, memperoleh kultivar untuk tanaman pot yang sangat komersial dan hal positif lainnya. Kita kapan memulai ? Kapan berhasil ?
Penulis pernah diajak diskusi di forum paguyuban pembibit anggrek botolan di Malang. Topiknya bagaimana kita akan bersaing dengan produk impor dengan mencoba membuat meriklon. Sangat ideal ! Karena memang pasar banyak memerlukan bibit anggrek berkualitas seperti ‘produk import’. Tetapi apa hikmah dari diskusi tersebut ? Ternyata ketika ada pertanyaan ‘silangan mana dan silangan siapa yang akan dimeriklonasi ? ‘. Tidak ada satupun yang hadir yang merasa yakin mengetahui, memiliki cikal bakal anggrek unggulan nasional yang akan dimeriklonasi. Diskusi lebih alot ketika membahas siapa yang bisa melakukan teknik itu ? Siapa yang membiayai ? Bagaimana mekanisme operasional bersamanya ? Jadi betapa jauh kita telah ketinggalan dengan lokomotif peranggrekan dunia, pada saat penulis mengikuti world orchid conference tahun 2002 di Malaysia mereka sudah mengembangkan kultur sel, biji buatan, penggunaan biorektor dan sekarang sudah menerapkan teknik rekayasa genetik.
Hemat penulis, ketika pemerintah telah mengambil putusan dan menjadikan anggrek sebagai ‘produk unggulan nasional’, tentu hal tersebut sudah melalui pertimbangan-pertimbangan yang matang, semestinya pemerintah bersama peneliti dan pengusaha anggrek sudah memiliki program terencana untuk merealisasikan hal tersebut. Hal yang paling menyedihkan jika semua itu diputuskan tanpa kesiapan, terutama kesiapan semua pihak yang akan terlibat untuk focus pada arah pengembangan peranggrekan nasional dan tidak mementingkan keinginan diri pribadi atau kelompoknya.
Tetapi jujur untuk menjawab pertanyaan yang mengemuka di forum diskusi pembotol Malang, yaitu : anggrek silangan dalam negeri (silangan nasional) apa yang akan kita perbanyak secara masal juga bukan pekerjaan mudah. Apa dengan menyelenggarakan lomba anggrek silangan dalam negeri misalnya, seperti yang diinisiasi Direktorat Hortikultura Departemen Pertanian ? Bisa saja, tetapi ketika insan anggrek sendiri belum siap dan tidak banyak yang berpartisipasi, mendapatkan tanaman juara yang benar-benar silangan dalam negeri yang selektif dan teruji rasanya masih sulit tercapai. Rasanya perlu dicari tahu kenapa lomba sepi peminat ? Apatis ? Kenapa ?
Pada lomba-lomba yang sudah terjadi, sering terjadi orang kecewa pada hasil penjurian. Dan lagi siapa bisa menjamin bahwa tanaman yang menang lomba tersebut benar-benar unggul, layak pilih, teruji dari berbagai aspeknya untuk diproduk masalkan ? Rasanya memilih anggrek unggulan nasional tidak bisa dilakukan secara instant, dan harus dilakukan melalui kajian panjang. Jangan sampai kasus ‘padi supertoy’ terjadi juga mensengsarakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada anggrek. Kita perlu belajar pada negara-negara yang telah diakui sebagai produsen anggrek berkualitas seperti Hawai, Thailand, Taiwan, Jepang mereka tidak asal-asalan memilih anggrek yang akan dikembangkan. Agar suatu anggrek bisa terpilih menjadi tanaman berbunga dalam pot yang komersial , harus memenuhi beberapa syarat, misalnya :
Sosok Tanaman Kompak dan Menarik
Memiliki Variasi Warna
Pohon Relatif Pendek (dibawah 60 cm),
Bulb / Batang Banyak
Daun Hijau Tanpa Penyakit
Mudah Pemeliharaan / Ditumbuhkan
Tidak Kenal Musim Berbunga, Kapan Saja Bisa
Sering Berbunga, Minimal 2 kali / Th
Sekali Bunga Minimal 2 Tangkai
Jumlah Bunga per Tangkai Relatif Banyak, Minimal 10 Kuntum
Jika Mungkin Memiliki Aroma Harum
Umur bunga panjang
Namanya Mudah Dikenal Pembeli
Semua hal yang disyaratkan di atas tidak mungkin diperoleh hanya melalui lomba yang cuma sesaat penilaiannya. Butuh kejujuran bersama dalam menilai, memproses menjadi produk unggulan nasional. Sekali kita keliru investor tidak akan percaya lagi. Tantangan kita, di Indonesia tidak banyak penganggrek, hibrider, peneliti yang memiliki keseriusan menyilang, menyeleksi, menyilangkan kembali, mengevaluasi karakter dominan yang terwariskan dari setiap induk, dan aktivitas-aktivitas lain yang lazim dalam kegiatan breeding untuk mendapatkan produk yang unggul. Kurangnya orang yang menekuni breeding anggrek, tidak adanya peneliti yang khusus mengkaji aspek sitogenetik dan pengembangan teknik-teknik perbanyakan dan rekayasa genetik adalah merupakan kelemahan kita. Penulis tidak tahu mengapa di Indonesia belum ada professor yang khusus menekuni anggrek, mungkin karena tidak ada yang tertarik atau karena dana penelitiannya kecil. Untuk melahirkan anggrek unggulan dan memajukan peranggrekan nasional, maka 3 pilar yang memungkinkan peranggrekan beranjak dari kondisi jalan di tempat, yaitu : pemerintah, peneliti dan pengusaha masing-masing harus mau berbenah menutupi kekurangannya masing-masing dan kerja serius.
Penulis sering harus memendam rasa ketika dalam kefrustasian diskusi tentang peranggrekan Indonesia, kepada siapapun penulis menyarankan dan mengajak untuk mereka memulai perubahan dari dirinya sendiri dan kemudian mengajak teman terdekat, kalau mungkin ke kelompok yang sefaham dalam memajukan peranggrekan Indonesia. Kalau hal itu dilakukan banyak orang maka akan terjadi perubahan besar di peranggrekan Indonesia. Salam anggrek !
Penulis : Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, Mahasiswa Program Doktor di Universitas Airlangga, Ketua Departemen Pendidikan – Pelatihan DPP PAI, Pemilik Laboratorium dan Nursery MAI di Batu.
Jumat, 05 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar